Sabtu, 27 April 2013

Fakta Windows 8


Fakta Seputar Microsoft Windows 8, Fitur Baru Jempolan


Sabtu, 27 April 2013

Fakta Seputar Microsoft Windows 8
Microsoft Windows 8 (Foto: minimalis)
Microsoft Windows 8 - Windows 8 merupakan nama kode dalam bentuk versi selanjutnya dari Microsoft Windows, jajaran sistem operasi yang diterbitkan oleh Microsoft agar dapat dioperasikan pada komputer pribadi, berbasis bisnis, laptop, netbook, tablet PC, server, dan PC pusat media. Sistem operasi (OS) ini memakai mikroprosesor ARM, selain mikroprosesor x86 tradisional produksi Intel dan AMD. Interface Admin diubah agar bisa dijalankan pada fitur layar sentuh selain mouse dan keyboard. Sehingga peforma Windows 8 sangat baik untuk perangkat Tablet sentuh.

Microsoft secara formal mempublikasikan jadwal perilisan sistem operasi Windows 8, Jum’at (26/10/2012), sekaligus dengan pengenalan komputer perdana yang berbasis Windows 8. Microsoft sudah menerbitkanWindows 8 versi Release Preview, untuk eksperimen atau percobaan antarmuka diseluruh pasar teknologi dunia dan menghimpun komentar mereka guna evaluasi Windows 8 menjadi lebih baik. Microsoft pun kini sudah memasarkan Windows 8 Enterprise yang mempunyai fitur terlengkap di antara versi Windows 8 lainnya, umpamanya konfigurasi layar terdapat setelan pilihan latar belakang yang lebih bervarisi dan penuh ragam atau warna.

Pada Rabu (29/2/2012), Microsoft awalnya telah mempublikasikan secara gratis Windows 8 Versi Consumer Preview sebelum diluncurkannya versi beta pada bulan Maret 2012. Microsoft juga sudah menerbitkan Windows 8 Versi Release Preview, ini adalah versi terakhir dari eksperimen Windows 8, yang tidak akan dirubah lagi jika nantinya ditemukan bug (celah sistem) yang terlalu besar.

Dilansir dari tekno.kompas.com, ini nilai pentingnya fakta tentang Windows 8:
1. Ketersediaan
Windows 8 telah bisa diunduh dari website resmi Microsoft mulai Jum’at (26/10/2012). Tidak hanya cara online ini, terdapat paket instalasi Windows 8 dalam bentuk DVD.

2. Harga
Upgrade online Windows 8 ada bagi pemakai Windows XP, Vista dan 7. Untuk Admin yang mengorder sistem operasi atau komputer dengan salah satu dari ketiga sistem operasi tersebut sebelum 2 Juni 2012, upgrade online Windows 8 sebanyak 40 dollar AS.

Untuk pengguna yang mengorder sistem operasi atau komputer dengan salah satu dari ketiga sistem operasi tersebut antara tanggal 2 Juni 2012 sampai dengan 31 Januari 2013, terdapat diskon upgrade dan Anda cukup membayar 14.99 dollar AS saja. Adapun versi Windows 8 dalam bentuk DVD dijual seharga 70 dollar AS.

3. Perbedaan antar versi Windows 8
Windows 8, merupakan versi paling fundamental yang menargetkan kalangan pengguna biasa. Fitur-fiturnya seperti tampilan Start Screen baru, aplikasi-aplikasi utama seperti Mail, Music, Calendar, Internet Explorer 10, Windows Store, dan desktop.

Windows 8 Pro, versi ini mempunyai seluruh fitur Windows 8 standar diupgrade sejumlah layanan lain yang berfungsi untuk power user seperti BitLocker, client hyper-v, domain join, enkripsi file sistem, dukungan group policy, dan remote desktop hosting.

Windows RT, Ini merupakan versi Windows 8 yang diterapkan pada perangkat-perangkat tablet berbasis ARM. Berbeda dengan dua versi lainnya, Windows RT belum bisa mengoperasikan aplikasi-aplikasi yang ditetapkan untuk komputer desktop (x86/ 64). Ia hanya akan mengoperasikan aplikasi yang didapat dari Windows Store saja.

4. Kebutuhan Hardware

Windows 8

Untuk dapat mengoperasikan Windows 8, sebuah objek komputer harus mempunyai minimal:
RAM sebesar 1 GB untuk versi 32-bit atau 2 GB untuk versi 64-bit
Ruang hard disk (space hard disk) sebesar 16 GB untujk versi 32-bit atau 20 GB untuk versi 64-bit
grafis yang kompatibel dengan DirectX 9 prosesor
Untuk mengakses aplikasi yang di download dari Windows Store, pengguna harus mempunyai layar monitor dengan resolusi 1024x768 atau lebih. Resolusi standar sebesar 1366x768 dibutuhkan untuk menghidupkan fungsi "snap" sehingga aplikasi-aplikasi dari Windows Store lebih mudah diatur.

5. Interaksi dengan Antar Muka Baru
Salah satu perbedaan dan perubahan terbesar dalam Windows 8 adalah dialih-fungsikannya tombol "Start" dari desktop. Sebagai gantinya, Microsoft membuat layar "Start Screen" berisi kumpulan atau daftar aplikasi-aplikasi yang terinstal di komputer, yang tersusun dalam pola berbentuk kotak-kotak minimalis dengan thumbnail.

Secara universal, antarmuka baru pada Windows 8 lebih sesuai dengan notebook daripada desktop, sebab touchpad pada notebook tersedia pilihan input touch gesture sama pada perangkat tablet yang berfungsi lebih baik pada antarmuka Windows 8 dibandingkan pemakaian dengan mouse.

Namun, dengan ada penyesuaian, pengguna juga dapat menjalankan mouse untuk bernavigasi dalam Windows 8 tanpa problem.

6. Toko Aplikasi di Windows Store
Dalam Windows 8, terdapat icon toko aplikasi Windows Store yang sama dengan Apple App Store pada Mac OS. Pada website ini, pengguna bisa men-download berbagai aplikasi yang formasi khusus untuk Windows 8.

Pengguna Windows 8 dan Windows 8 Pro bisa mengoperasikan aplikasi Windows termasuk aplikasi-aplikasi lama untuk windows 7 (sistem operasi sebelumnya).

7. Koneksi Cloud
Berbeda dari edisi sebelumnya, Windows 8 difungsikan untuk “cloud”. Sistem operasi ini menyediakan aplikasi SkyDrive, yaitu fitur Cloud Storage milik Microsoft secara built-in. SkyDrive rencananya juga diterapkan Microsoft Office terbaru dan sebagai tempat penyimpanan default untuk dokumen sehingga pengguna bisa mengaksesnya dari seluruh jenis perangkat.

8. Perbedaan dan kesamaan Windows 8 dengan Windows Phone 8
Windows 8 dan Windows Phone 8 mempunyai beberapa kemiripan dalam hal kernel yang difungsikan sehingga aplikasi yang diperuntukkan pada Windows 8 nantinya juga akan dapat berjalan di Windows Phone 8. Untuk saat ini, hal itu belum terealisasikan dan kedua sistem operasi masih berdiri terpisah, namun, Bill Gates, pendiri Microsoft, mengutarakan bahwa Windows 8 dan Windows Phone 8 sedang berotasi menjadi satu platform eksklusif (tunggal).

Prolog




Prolog

Cinta itu akan timbul jika dipupuk dalam waktu lama dan dengan usaha yang maksimal

       STASIUN GUBENG, Surabaya – suatu hari di bulan Juni
Rangga mendesah pelan, harusnya kereta eksekutif jurusan Jakarta-Surabaya tiba lima menit lalu. Tapi sampai detik ini moncong kereta itu belum tampak juga. Rangga akhirnya menurunkan tangan kanannya, lagi, setelah lima kali mengangkatnya untuk melihat jam tangan Ripcurl hitam yang melingkar disana.
Rangga sudah sampai di stasiun setengah jam sebelumnya dari jadwal kereta tiba, dan langsung berdiri menunggu di sebelah tiang penyangga berwarna hijau telor asin di dekat rel. Karena Rangga ingin jika Raisa tiba nanti, dia bisa langsung menghampiri kakaknya itu untuk—sedikitnya—membantu mengangkut barang bawaannya ke mobil—yang dia parkir di area parkir stasiun. Tapi apa daya ternyata kereta yang ditunggu-tunggu sejak tadi belum nongol juga.
Rangga mengernyit, merasakan kakinya mulai berdenyut nyeri seperti berteriak memberitahukan—sudah tidak kuat lagi berdiri! Dia melirik sekilas kaki kirinya dan mendengus kesal begitu melihat perban putih yang membungkus luka di mata kakinya di balik sandal. Dia jadi ingat Al, si biang kerok—penyebab kecelakaan yang mengukir luka itu. Ups, harusnya luka-luka itu, karena perlu dicatat, dibalik celana satin warna krem yang Rangga pakai, masih ada luka lebam di kedua pahanya dan kulit yang terkelupas serta lecet di lutut kanan dan kirinya.
Rangga mulai mengedarkan matanya ke sekitar pemberhentian kereta. Kereta terkutuk itu ngaret entah sampai kapan dan kakiku yang sekarat ini sudah tak kuat lagi menyangga beban tubuhku, jadi sebaiknya aku menunggu sambil duduk, pikir Rangga. Suasana stasiun Gubeng saat itu lumayan ramai. Beberapa orang berdiri menunggu seperti dirinya, beberapa ada yang duduk, ada juga tidur-tiduran di lantai stasiun, entah kenapa. Akhirnya Rangga menemukan kursi kosong di ujung belakang, di bawah plakat biru besar bertuliskan Surabaya Gubeng berwarna putih. Dia berjalan kesana sambil menahan gatal di tenggorokannya. Dia berdeham untuk meredakan batuk yang sedari tadi ingin meloncat keluar dari mulutnya.
Ya, hari ini adalah hari yang cukup buruk bagi Rangga. Sudah tiga hari ini dia menderita batuk pilek—kepalanya pun masih sedikit pusing—, dan kemarin dia baru saja mengalami kecelakaan motor hingga luka-luka—yang anehnya dia luka-luka di sekujur kaki, sedang Al yang menyetir tidak cedera sedikitpun—, lalu seperti belum puas nasib sial membelenggunya, hari ini ibunya malah menyuruhnya menjemput Raisa di stasiun Gubeng yang jaraknya memakan waktu dua jam karena super macet di sepanjang jalan. Tapi berhubung Rangga anak yang baik dan berbakti kepada orangtua, tak apalah ia bersakit-sakit begini untuk sang kakak tercinta.
Rangga duduk dengan pelan dan hati-hati di kursi paling belakang berlatar belakang jendela besar warna coklat, sambil mengernyit menahan perih saat luka-luka itu menyentuh kain celananya saat duduk. Kursi itu terbuat dari kayu berbentuk memanjang, dengan alas dan sandaran berwarna putih, mungkin cukup untuk menampung empat orang. Di sebelah kirinya kosong. Sementara seseorang duduk di posisi paling ujung, sedang menunduk sibuk membaca sepertinya—entahlah Rangga tak begitu memperhatikan. Rangga mencari posisi duduk ternyaman, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan menyelonjorkan kedua kaki sambil mendesah nikmat. Aahh, nyaman sekali rasanya. Asal tidak ada orang yang tiba-tiba tersandung kakinya dan menyenggol luka-luka terkutuk itu, suasana saat ini betul-betul ia sukai.
Rangga mengamati satu kursi putih di depannya yang berjubelan satu keluaga. Ayah ibu dan lima anak yang masih kecil-kecil dengan dua kardus sebesar kardus mi instan di bawah kursi mereka. Sementara di samping kanan Rangga ada seorang bapak tengah tertidur dengan pulasnya beralaskan koran sebatas kepala sampai paha.
Rangga melirik ke sebelah kirinya, ke penghuni kursi di ujung. Memperhatikannya tampak samping. Sepertinya itu cewek, dilihat dari rambutnya yang hitam panjang tergerai menutupi pipi kanannya. Cewek itu memakai bando motif beruang warna pink, jaket abu-abu pink, celana jins biru dongker dan sepatu karet warna pink. Wah, pinkaholic, batin Rangga. Di dekat kaki cewek itu berdiri tegak dua tas ransel dan satu koper kecil. Wuih, ni cewek habis atau mau minggat ya? batin Rangga. Matanya naik ke tangan si cewek dan melihat buku terbuka di pangkuannya. Tak sengaja Rangga membaca tulisan di sampul buku, “Kalian percaya love at the first sight?” Dia tersenyum kecil membaca judul buku itu.
Setelah bosan mengamati cewek itu, Rangga memalingkan wajah dan kembali menatap depan. Otaknya mau tak mau jadi berpikir. Love at the first sight. “Kalian percaya love at the first sight?” Judul buku itu kembali menggelitik pikirannya.
Love at the first sight, atau yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘cinta pada pandangan pertama’. Menurut Rangga, jawaban dari pertanyaan itu ada tiga options. Options pertama, bagi orang-orang yang sudah pernah mengalaminya, otomatis mereka percaya cinta pada pandangan pertama itu ada, lha wong uda pernah ngalamin ndiri. Options kedua, bagi yang belum pernah mengalami tapi percaya cinta pada pandangan pertama itu ada. Mereka yang memilih option kedua ini termasuk golongan yang berpikir positif, bahwa apapun bisa terjadi jika atas nama cinta, termasuk cinta pada pandangan pertama. Options ketiga, mereka yang belum pernah mengalami dan tidak percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada. Jika mereka yang memilih option kedua termasuk golongan yang berpikir positif, maka orang-orang dalam golongan ketiga ini bukan termasuk yang berpikir negatif, hanya tinggi logika. Mereka tidak mendewakan cinta, hanya belum pernah mengalami dan percaya bahwa cinta tidak mungkin datang begitu saja. Jika kita bertemu seseorang dan ada ketertarikan khusus, itu bukan cinta, tapi suka, kagum, naksir, apalah itu pokoknya bukan cinta.
Begitulah yang dipikirkan Rangga. Dan ia tentu saja termasuk golongan yang ketiga. Orang yang belum pernah mengalaminya dan tidak percaya ada cinta pada pandangan pertama. Yang dia percaya selama ini adalah cinta itu akan timbul jika dipupuk dalam waktu lama dan dengan usaha yang maksimal.
“Mas, kasihan mas, belum makan tiga hari.”
Suara cempreng tiba-tiba menabrak gendang telinga Rangga. Membuatnya berhenti memikirkan logika-logika lain tentang cinta. Rangga menoleh dan melihat seorang anak kecil perempuan berdiri di sebelahnya sambil menyodorkan gelas plastik bekas minuman yang sudah setengah dipenuhi uang lembaran serta recehan. Anak kecil itu memakai kaos usang dan celana pendek kotor, tanpa alas kaki, sementara rambutnya kering kemerahan dan dikuncir kuda. Wajahnya agak kehitaman karena dijemur entah berapa jam setiap hari. Bau agak tidak sedap dari anak itu menyeruak memenuhi rongga hidung Rangga.
                Rangga memasukkan jarinya ke saku celana sebelah kanan dan merogoh sesuatu didalam sana—seingatnya ada uang seribu kembalian dari tukang parkir. Akhirnya Rangga menarik keluar selembar uang seribu itu dan langsung menjejalkannya ke gelas plastik. Tanpa mengatakan terimakasih, anak kecil peminta-minta itu berjalan melewatinya.
                Rangga terbatuk—diusahakannya sepelan mungkin—lalu menghela nafas.  Batuk ini sungguh mengganggu. Dan pilek ini membuat suaranya serak dan terdengar aneh.
                “Mbak kasihan mbak, belum makan tiga hari.” Suara cempreng itu terdengar lagi, tapi kali ini di sebelah kiri Rangga, di tempat si cewek ‘minggat’ tadi. Rangga tetap menatap depan dan melanjutkan proses berpikirnya yang tadi sempat terganggu karena kehadiran si pengemis. Hmmm, aku belum pernah jatuh cinta, karena terlalu sibuk dengan sekolah dan musik. Dua hal itu benar-benar menyita waktuku.  Jadi cinta pada pandangan pertama itu bagaikan hal yang mustahil bagiku, pikir Rangga.
                “Mbak, kasihan mbak, belum makan tiga hari.” Suara cempreng itu terdengar lagi, dan kali ini masih ditempat yang sama, masih di sebelah kiri Rangga, di tempat si cewek ‘minggat’ tadi. Kening Rangga mengerut, kok pengemis itu nggak pergi-pergi? Jangan-jangan cewek ‘minggat’ itu tuli.
                Akhirnya Rangga tak tahan dengan spekulasinya barusan dan menoleh ke arah si cewek tepat setelah suara cemprang itu terdengar lagi untuk ketiga kalinya di tempat yang sama.
“Mbak, kasihan mbak, belum makan tiga hari.”
                Setelah menoleh, nyaris saja Rangga hendak bicara tapi terpaksa menelan kembali kata-kata teguran yang sudah menclok di ujung lidahnya. Dahinya berkerut, menebak-nebak dalam hati kira-kira cewek di sebelahnya itu sedang ngapain. Karena Rangga melihat cewek itu sudah tidak lagi membaca—bukunya tergeletak menelungkup di sisi paha kanannya—, melainkan sibuk merogoh-rogoh semua saku di jaket, baju, dan celana yang dipakainya dengan kecepatan gerak yang cukup memukau. Jadi seperti melihat adegan film yang dipercepat. Cewek itu bergantian merogoh kedua saku celananya, lalu kedua saku jaketnya, lalu memasukkan tangan ke balik jaket untuk merogoh kantong kemejanya, sementara wajahnya mengernyit resah, cewek itu terus merogoh dan merogoh. Sampai anak kecil pengemis itu dengan disengaja mendengus kesal.
“Mbak, kasihan mbak, belum makan tiga hari.” kata bocah pengemis itu lagi dengan suara keras yang kentara sekali terdengar mangkel.
                “Eh—s-sebentar yaa.. aku cari uangku dulu.” Cewek itu menatap si bocah pengemis sambil tersenyum manis menyuruhnya bersabar. Setelah merogoh-rogoh lagi dan akhirnya tetap tidak menemukan lembaran uang, cewek itu membungkuk ke depan dan menarik salah satu ransel yang paling besar ke depan jari kakinya.
                Dengan gerakan cepat, cewek itu membuka restleting utama di ransel itu dan memasukkan tangan hingga pergelangan tangannya tenggelam dalam ransel sampai siku. Dia kembali asyik merogoh-rogoh.
“Ck.” Cewek itu berdecak kesal begitu tak menemukan apa yang ia cari di dalam tas. Akhirnya dia menarik keluar sebuah celana jins yang sudah dilipat rapi, menaruhnya ke pangkuannya, lalu kembali ke ransel dan menarik keluar lagi benda lain. Sebuah jaket loreng hijau hitam, tiga t-shirt berwarna masing-masing pink, putih, hitam—yang juga sudah dilipat rapi—, lalu sebuah kotak kado berpita pink entah berisi apa, kantong besar transparan beresleting berisi peralatan mandi, ponsel warna pink, boneka beruang kecil warna pink ..
“Gak usah deh mbak.” celetuk si bocah pengemis semakin kesal karena tak urung diberi uang, saat cewek itu bukannya mengeluarkan dompet malah mengeluarkan bungkusan hitam berbentuk seperti sandal dan menumpuknya ke pangkuannya yang sudah dipenuhi barang. Rangga tak habis pikir, asli dia bingung abis melihat tingkah aneh cewek itu.
                “Bentar yaaa, aku lagi nyari dompet. Aku lupa dimana naruhnya. Aku janji, aku kasih kamu uang, sabar yaa.” Cewek itu lagi-lagi berkata sambil tersenyum manis menyuruh anak perempuan itu untuk bersabar.
Sebenarnya senyum yang amat manis, tak sadar Rangga memujinya dalam hati. Dia salut juga dengan gadis itu, yang bertekad sekali ingin memberi uang kepada bocah pengemis itu. Kalau Rangga jadi cewek itu sih, ya tinggal menegakkan telapak tangan seperti gerakan tangan pak polisi yang sedang menghentikan kendaraan, bilang maaf lalu pengemis itu akan pergi dengan sendirinya.
                Si bocah pengemis itu menggerak-gerakkan kakinya dengan tak sabar, berkali-kali menghela nafas dan menatap si mbak dengan bingung plus kesal.
                “Aaah, ya ampyuunnnn…” jerit cewek itu tertahan, setelah menarik tangannya keluar dari ransel dan menaruh sebuah kantung tarik berukuran sedang yang menggembung di dekat pahanya—di samping buku—saking penuhnya barang di pangkuannya. Sesuatu yang keras berwarna coklat seperti puzzle dari kayu menyembul dari dalam kantung yang tidak diikat dengan kuat itu.
                Cewek itu menunduk lagi, kali ini meraih ransel yang satunya lagi. Membuka resleting utamanya dan dengan hati-hati memasukkan tangannya, merogoh sampai ke dalam. Agak susah dia akhirnya menarik keluar sebuah dompet panjang berwarna pink motif Teddybear. “Ini ketemu dompetnya.” Cewek itu tersenyum lagi ke si bocah pengemis. Si bocah pengemis mendesah lega, begitu juga Rangga—tanpa disadarinya.
                Cewek itu membuka dompetnya dan mengeluarkan kertas berwarna biru—selembar uang lima puluh ribu—dan menjejalkannya ke dalam gelas plastik si bocah pengemis, menindih uang seribu-nya Rangga yang sebelumnya sudah menghuni gelas plastik itu.
                Anak kecil itu melongo parah, tak percaya dengan uang bernominal sebesar itu di dalam gelas plastiknya.
                “Oh iya, tunggu. Ini ada lagi.” Cewek itu tersenyum lagi lalu menunduk ke ransel keduanya yang masih terbuka. Dia menarik keluar sebuah kotak kardus dengan hati-hati dan memberikanya ke gadis kecil itu.
                Dengan ragu-ragu, si bocah pengemis itu menerimanya. Lalu membukanya. Rangga sampai menjulurkan lehernya secara diam-diam agar bisa mengintip apa isi dari kotak itu. Ternyata sebuah rainboww cake berukuran sedang. Mata anak kecil itu berbinar gembira.
                “Makasih mbak.” katanya sambil mengempit gelas plastiknya diketiak lalu mengambil tangan kanan cewek itu dan mencium punggung tangannya lekat-lekat seperti mencium tangan ibunya sendiri.
                “Iya, sama-sama.” ucap cewek itu tersenyum manis sambil mengelus lembut kepala si bocah. Mata cewek itu bersinar sama lembutnya dengan belaiannya.
                “Makasih ya mbak.” Si bocah pengemis itu berkata lagi, lalu berlari pergi sambil bersenandung riang. Langkah kakinya pun seperti menari gembira.
                Cewek itu terus menatap si anak kecil sampai hilang di balik tembok. Lalu menunduk menatap barang-barang di pangkuannya yang menumpuk setinggi gunung, dan menghela napas pasrah. Akhirnya dia memasukkan kembali satu persatu barang-barangnya dengan merapikannya terlebih dahulu seperti sedia kala sebelum dimasukkan.
                Cewek itu akhirnya sadar sedang diperhatikan Rangga. Cewek itu menoleh dan mata mereka bertemu. Mereka berdua langsung menunduk berbarengan.
Rangga berkata pelan, “Maaf… memandangimu seperti itu.”
Suaranya terdengar serak dan agak sakit untuk bicara. Saking terpukaunya dia pada gadis disebelahnya itu sampai membuatnya tidak sadar bahwa dia sudah memperhatikan gadis itu cukup lama. Sangat tidak sopan.
Cewek itu tersenyum kecil. “Ndak apa-apa.” Dia mengangkat kepala dan melirik laki-laki di sebelahnya. Laki-laki itu memakai masker hijau muda seperti yang biasa dipakai dirumah sakit dengan tali putih melingkari kedua telinganya, menutupi hidung dan mulutnya hingga hanya terlihat mata dan keningnya saja. Rambut cowok itu hitam jabrik. Gel rambut berkilat dari sela-sela rambutnya yang pasti tegak kaku jika disentuh. Laki-laki itu memakai kaos putih dengan grafiti hitam entah bertuliskan apa, celana kain warna krem dan sandal jepit model sport yang pastinya berharga mahal. Mata cowok itu bening, dengan bola mata hitam.
“Mas lagi sakit?” tanya cewek itu, memberanikan diri, sambil melanjutkan memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam ransel. 
                Rangga yang sedang menunduk, tidak menyangka akan diajak ngobrol. Dia mengangguk pelan, lalu melirik kesebelah. Ternyata cewek itu tidak sedang melihatnya, jadi cewek itu tidak tahu anggukan Rangga. Maka Rangga berdeham, dan menjawab, “Iya, pilek dan batuk.”
                “Oohh..” desah cewek itu. Tangannya terampil sekali melipat baju. “Mas nunggu siapa?” tanyanya lagi.
                Rangga menimbang-nimbang jawabannya. “Kakak.” jawabnya kemudian. Dia pun mengungkapkan rasa penasaran yang sejak tadi dipendamnya. “Kalau kamu? Nunggu kereta? Dari mana, eh, mau kemana?”
                Cewek itu diam sejenak. “Mau pulang, mas. Aku nunggu jemputan. Oh iya.. aku dari rumah kakek.” Jawaban cewek itu cukup mengagetkan Rangga. Ternyata cewek itu tidak minggat seperti yang Rangga kira sebelumnya. Tiba-tiba ponsel pink cewek itu berbunyi. Sambil mengepit ponsel di telinga dan bahu, cewek itu bicara dengan terus memasukkan barang-barangnya. Kali ini dengan gerakan sedikit dipercepat.
                “Ayahku sudah di depan.” katanya sambil mematikan ponsel lalu menjejalkannya ke dalam ransel. Cewek itu mengambil buku dan kantong tariknya dengan tergesa-gesa, tanpa sadar sebuah puzzle kayu yang sudah menyembul akhirnya melenting keluar dan jatuh ke bawah kursi putih yang bercelah-celah itu. Cewek itu lalu memasukkan bungkusan hitam yang terakhir dan menutup resleting ranselnya, juga resleting ransel kedua. Rangga tidak menjawab, hanya terus memperhatikan cewek itu.
                “Oh ya, nama mas siapa?” tanya cewek itu sebelum bangkit. Dia menoleh, matanya bersinar menatap Rangga. “Aku Tiara.” lanjutnya. Tak lupa senyuman manis bertengger di wajahnya.
                “Mmmm..” Rangga menimbang-nimbang jawabannya. Cewek ini adalah cewek asing, tidak mungkin dia begitu saja memberikan namanya. “Adit.” ucapnya pelan. Meskipun mungkin cewek itu benar menyebutkan nama aslinya Tiara, Rangga tidak akan melakukan hal yang sama, hal yang sebodoh itu.
                “Ok, aku duluan ya mas Adit. Semoga cepat sembuh.”
Cewek itu membungkuk untuk meraih pegangan ranselnya yang paling besar, memakainya di punggung, lalu menjinjing ransel satunya dengan tangan kiri dan koper di tangan kanan. Sepertinya berat, dan tas-tas itu tampak terlalu besar untuk cewek yang ternyata berukuran cukup mungil itu. Cewek itu berdiri, tersenyum untuk terakhir kalinya pada Rangga, lalu pergi.

                “Tiara.” desis Rangga, senyum-senyum sendiri setelah beberapa menit sejak kepergian cewek aneh itu.
 Kebaikannya, tingkah lakunya yang unik, serba pink, senyum manisnya. Rangga terus memikirkannya, memikirkan cewek itu, memikirkan Tiara. Logika-logika dan teori-teori yang tadi dipaparkan Rangga tanpa ia sadari telah terbantahkan oleh hatinya sendiri.
“Mas, mas.”
Tiba-tiba terdengar keramaian di dekatnya. Dan pikiran Rangga terhempas kembali ke bumi. Dia menoleh dan mendapati si anak perempuan pengemis yang tadi sedang berdiri di sebelah kirinya. Ditangannya masih ada gelas plastik dan kardus dari Tiara, tapi di belakangnya bergerombol lima anak kecil yang saling kasak kusuk dengan berisiknya. Tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Semuanya terlihat sama menggenaskan seperti si bocah perempuan bergelas plastik itu. Sama-sama usang dan kotor, berambut merah, berwajah gosong dan membawa gelas plastik. Anak-anak pengemis lainnya. Teman-teman si gelas plastik.
“Mbak yang disini kemana?” tanya si bocah perempuan bergelas plastik itu setelah perhatian Rangga tercurah kepadanya. Jari telunjuk bocah itu terarah ke kursi di ujung yang tadinya diduduki Tiara.
“Sudah pergi.” jawab Rangga singkat. Dia memperhatikan teman-teman si gelas plastik melenguh kecewa mendengar jawabannya.
“Tuh kan, udah pergi.” celetuk si bocah gelas plastik, berdiri menghadap teman-temannya. Lalu dengan sengaja memamerkan kuenya.
“Bagi dong!” jerit salah satu teman ceweknya. Berusaha merebut kotak kardus ditangan si gelas plastik.
“Eit, eit!” Si gelas plastik dengan lincah menyelamatkan hartanya. “K-D-L-S!!” katanya mengeja setiap huruf.
“Apaan tuh???” tanya teman-temannya serempak, kebingungan. Rangga juga penasaran, apaan tuh?
“KASIHAN DEH LO SEMUAAA!!!” jerit si gelas plastik, lalu kabur tunggang langgang sambil tertawa terbahak-bahak. Teman-temannya yang sukses dikerjai, mulai berlarian mengerjarnya sambil berteriak-teriak kesal. Kontan suasana stasiun jadi semakin ramai.
Rangga cuma mesem melihat kejadian itu. Ah, dia jadi ingat Tiara lagi.

                Sepotong puzzle kayu masih teronggok di bawah kursi, sampai akhirnya sebuah tangan terjulur untuk mengambilnya.
Lalu puzzle kayu itupun dimasukkan ke dalam saku celana satin berwarna krem. Dan si empunya celana pun berjalan pergi.