Prolog
Cinta itu akan
timbul jika dipupuk dalam waktu lama dan dengan usaha yang maksimal
STASIUN GUBENG, Surabaya
– suatu hari di bulan Juni
Rangga
mendesah pelan, harusnya kereta eksekutif jurusan Jakarta-Surabaya tiba lima
menit lalu. Tapi sampai detik ini moncong kereta itu belum tampak juga. Rangga akhirnya
menurunkan tangan kanannya, lagi, setelah lima kali mengangkatnya untuk melihat
jam tangan Ripcurl hitam yang melingkar disana.
Rangga
sudah sampai di stasiun setengah jam sebelumnya dari jadwal kereta tiba, dan
langsung berdiri menunggu di sebelah tiang penyangga berwarna hijau telor asin di
dekat rel. Karena Rangga ingin jika Raisa tiba nanti, dia bisa langsung
menghampiri kakaknya itu untuk—sedikitnya—membantu mengangkut barang bawaannya
ke mobil—yang dia parkir di area parkir stasiun. Tapi apa daya ternyata kereta
yang ditunggu-tunggu sejak tadi belum nongol juga.
Rangga
mengernyit, merasakan kakinya mulai berdenyut nyeri seperti berteriak memberitahukan—sudah
tidak kuat lagi berdiri! Dia melirik sekilas kaki kirinya dan mendengus kesal begitu
melihat perban putih yang membungkus luka di mata kakinya di balik sandal. Dia jadi
ingat Al, si biang kerok—penyebab kecelakaan yang mengukir luka itu. Ups,
harusnya luka-luka itu, karena perlu dicatat, dibalik celana satin warna krem
yang Rangga pakai, masih ada luka lebam di kedua pahanya dan kulit yang
terkelupas serta lecet di lutut kanan dan kirinya.
Rangga
mulai mengedarkan matanya ke sekitar pemberhentian kereta. Kereta terkutuk itu ngaret
entah sampai kapan dan kakiku yang sekarat ini sudah tak kuat lagi menyangga
beban tubuhku, jadi sebaiknya aku menunggu sambil duduk, pikir Rangga. Suasana
stasiun Gubeng saat itu lumayan ramai. Beberapa orang berdiri menunggu seperti
dirinya, beberapa ada yang duduk, ada juga tidur-tiduran di lantai stasiun,
entah kenapa. Akhirnya Rangga menemukan kursi kosong di ujung belakang, di
bawah plakat biru besar bertuliskan Surabaya Gubeng berwarna putih. Dia
berjalan kesana sambil menahan gatal di tenggorokannya. Dia berdeham untuk
meredakan batuk yang sedari tadi ingin meloncat keluar dari mulutnya.
Ya,
hari ini adalah hari yang cukup buruk bagi Rangga. Sudah tiga hari ini dia
menderita batuk pilek—kepalanya pun masih sedikit pusing—, dan kemarin dia baru
saja mengalami kecelakaan motor hingga luka-luka—yang anehnya dia luka-luka di
sekujur kaki, sedang Al yang menyetir tidak cedera sedikitpun—, lalu seperti
belum puas nasib sial membelenggunya, hari ini ibunya malah menyuruhnya
menjemput Raisa di stasiun Gubeng yang jaraknya memakan waktu dua jam karena
super macet di sepanjang jalan. Tapi berhubung Rangga anak yang baik dan
berbakti kepada orangtua, tak apalah ia bersakit-sakit begini untuk sang kakak
tercinta.
Rangga
duduk dengan pelan dan hati-hati di kursi paling belakang berlatar belakang
jendela besar warna coklat, sambil mengernyit menahan perih saat luka-luka itu
menyentuh kain celananya saat duduk. Kursi itu terbuat dari kayu berbentuk
memanjang, dengan alas dan sandaran berwarna putih, mungkin cukup untuk menampung
empat orang. Di sebelah kirinya kosong. Sementara seseorang duduk di posisi paling
ujung, sedang menunduk sibuk membaca sepertinya—entahlah Rangga tak begitu memperhatikan.
Rangga mencari posisi duduk ternyaman, lalu menyandarkan punggung ke sandaran
kursi dan menyelonjorkan kedua kaki sambil mendesah nikmat. Aahh, nyaman sekali
rasanya. Asal tidak ada orang yang tiba-tiba tersandung kakinya dan menyenggol
luka-luka terkutuk itu, suasana saat ini betul-betul ia sukai.
Rangga
mengamati satu kursi putih di depannya yang berjubelan satu keluaga. Ayah ibu
dan lima anak yang masih kecil-kecil dengan dua kardus sebesar kardus mi instan
di bawah kursi mereka. Sementara di samping kanan Rangga ada seorang bapak
tengah tertidur dengan pulasnya beralaskan koran sebatas kepala sampai paha.
Rangga
melirik ke sebelah kirinya, ke penghuni kursi di ujung. Memperhatikannya tampak
samping. Sepertinya itu cewek, dilihat dari rambutnya yang hitam panjang
tergerai menutupi pipi kanannya. Cewek itu memakai bando motif beruang warna
pink, jaket abu-abu pink, celana jins biru dongker dan sepatu karet warna pink.
Wah, pinkaholic, batin Rangga. Di
dekat kaki cewek itu berdiri tegak dua tas ransel dan satu koper kecil. Wuih,
ni cewek habis atau mau minggat ya? batin Rangga. Matanya naik ke tangan si
cewek dan melihat buku terbuka di pangkuannya. Tak sengaja Rangga membaca tulisan
di sampul buku, “Kalian percaya love at the first sight?” Dia tersenyum
kecil membaca judul buku itu.
Setelah
bosan mengamati cewek itu, Rangga memalingkan wajah dan kembali menatap depan.
Otaknya mau tak mau jadi berpikir. Love
at the first sight. “Kalian percaya love
at the first sight?” Judul buku itu kembali menggelitik pikirannya.
Love at the first sight, atau
yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘cinta pada pandangan pertama’. Menurut
Rangga, jawaban dari pertanyaan itu ada tiga options. Options pertama, bagi orang-orang
yang sudah pernah mengalaminya, otomatis mereka percaya cinta pada pandangan
pertama itu ada, lha wong uda pernah ngalamin ndiri. Options kedua, bagi yang
belum pernah mengalami tapi percaya cinta pada pandangan pertama itu ada.
Mereka yang memilih option kedua ini termasuk golongan yang berpikir positif,
bahwa apapun bisa terjadi jika atas nama cinta, termasuk cinta pada pandangan
pertama. Options ketiga, mereka yang belum pernah mengalami dan tidak percaya bahwa
cinta pada pandangan pertama itu ada. Jika mereka yang memilih option kedua
termasuk golongan yang berpikir positif, maka orang-orang dalam golongan ketiga
ini bukan termasuk yang berpikir negatif, hanya tinggi logika. Mereka tidak
mendewakan cinta, hanya belum pernah mengalami dan percaya bahwa cinta tidak
mungkin datang begitu saja. Jika kita bertemu seseorang dan ada ketertarikan
khusus, itu bukan cinta, tapi suka, kagum, naksir, apalah itu pokoknya bukan
cinta.
Begitulah
yang dipikirkan Rangga. Dan ia tentu saja termasuk golongan yang ketiga. Orang
yang belum pernah mengalaminya dan tidak percaya ada cinta pada pandangan
pertama. Yang dia percaya selama ini adalah cinta itu akan timbul jika dipupuk
dalam waktu lama dan dengan usaha yang maksimal.
“Mas,
kasihan mas, belum makan tiga hari.”
Suara
cempreng tiba-tiba menabrak gendang telinga Rangga. Membuatnya berhenti
memikirkan logika-logika lain tentang cinta. Rangga menoleh dan melihat seorang
anak kecil perempuan berdiri di sebelahnya sambil menyodorkan gelas plastik
bekas minuman yang sudah setengah dipenuhi uang lembaran serta recehan. Anak
kecil itu memakai kaos usang dan celana pendek kotor, tanpa alas kaki,
sementara rambutnya kering kemerahan dan dikuncir kuda. Wajahnya agak kehitaman
karena dijemur entah berapa jam setiap hari. Bau agak tidak sedap dari anak itu
menyeruak memenuhi rongga hidung Rangga.
Rangga memasukkan jarinya ke saku celana sebelah
kanan dan merogoh sesuatu didalam sana—seingatnya ada uang seribu kembalian
dari tukang parkir. Akhirnya Rangga menarik keluar selembar uang seribu itu dan
langsung menjejalkannya ke gelas plastik. Tanpa mengatakan terimakasih, anak
kecil peminta-minta itu berjalan melewatinya.
Rangga terbatuk—diusahakannya sepelan mungkin—lalu
menghela nafas. Batuk ini sungguh
mengganggu. Dan pilek ini membuat suaranya serak dan terdengar aneh.
“Mbak kasihan mbak, belum makan tiga hari.” Suara
cempreng itu terdengar lagi, tapi kali ini di sebelah kiri Rangga, di tempat si
cewek ‘minggat’ tadi. Rangga tetap menatap depan dan melanjutkan proses berpikirnya
yang tadi sempat terganggu karena kehadiran si pengemis. Hmmm, aku belum pernah
jatuh cinta, karena terlalu sibuk dengan sekolah dan musik. Dua hal itu
benar-benar menyita waktuku. Jadi cinta
pada pandangan pertama itu bagaikan hal yang mustahil bagiku, pikir Rangga.
“Mbak, kasihan mbak, belum makan tiga hari.” Suara
cempreng itu terdengar lagi, dan kali ini masih ditempat yang sama, masih di
sebelah kiri Rangga, di tempat si cewek ‘minggat’ tadi. Kening Rangga mengerut,
kok pengemis itu nggak pergi-pergi? Jangan-jangan cewek ‘minggat’ itu tuli.
Akhirnya Rangga tak tahan dengan spekulasinya barusan
dan menoleh ke arah si cewek tepat setelah suara cemprang itu terdengar lagi
untuk ketiga kalinya di tempat yang sama.
“Mbak,
kasihan mbak, belum makan tiga hari.”
Setelah menoleh, nyaris saja Rangga hendak bicara tapi
terpaksa menelan kembali kata-kata teguran yang sudah menclok di ujung lidahnya.
Dahinya berkerut, menebak-nebak dalam hati kira-kira cewek di sebelahnya itu
sedang ngapain. Karena Rangga melihat cewek itu sudah tidak lagi membaca—bukunya
tergeletak menelungkup di sisi paha kanannya—, melainkan sibuk merogoh-rogoh semua
saku di jaket, baju, dan celana yang dipakainya dengan kecepatan gerak yang
cukup memukau. Jadi seperti melihat adegan film yang dipercepat. Cewek itu bergantian
merogoh kedua saku celananya, lalu kedua saku jaketnya, lalu memasukkan tangan
ke balik jaket untuk merogoh kantong kemejanya, sementara wajahnya mengernyit
resah, cewek itu terus merogoh dan merogoh. Sampai anak kecil pengemis itu dengan
disengaja mendengus kesal.
“Mbak,
kasihan mbak, belum makan tiga hari.” kata bocah pengemis itu lagi dengan suara
keras yang kentara sekali terdengar mangkel.
“Eh—s-sebentar yaa.. aku cari uangku dulu.” Cewek itu
menatap si bocah pengemis sambil tersenyum manis menyuruhnya bersabar. Setelah
merogoh-rogoh lagi dan akhirnya tetap tidak menemukan lembaran uang, cewek itu
membungkuk ke depan dan menarik salah satu ransel yang paling besar ke depan jari
kakinya.
Dengan gerakan cepat, cewek itu membuka restleting
utama di ransel itu dan memasukkan tangan hingga pergelangan tangannya
tenggelam dalam ransel sampai siku. Dia kembali asyik merogoh-rogoh.
“Ck.”
Cewek itu berdecak kesal begitu tak menemukan apa yang ia cari di dalam tas.
Akhirnya dia menarik keluar sebuah celana jins yang sudah dilipat rapi, menaruhnya
ke pangkuannya, lalu kembali ke ransel dan menarik keluar lagi benda lain.
Sebuah jaket loreng hijau hitam, tiga t-shirt berwarna masing-masing pink,
putih, hitam—yang juga sudah dilipat rapi—, lalu sebuah kotak kado berpita pink
entah berisi apa, kantong besar transparan beresleting berisi peralatan mandi,
ponsel warna pink, boneka beruang kecil warna pink ..
“Gak
usah deh mbak.” celetuk si bocah pengemis semakin kesal karena tak urung diberi
uang, saat cewek itu bukannya mengeluarkan dompet malah mengeluarkan bungkusan
hitam berbentuk seperti sandal dan menumpuknya ke pangkuannya yang sudah dipenuhi
barang. Rangga tak habis pikir, asli dia bingung abis melihat tingkah aneh
cewek itu.
“Bentar yaaa, aku lagi nyari dompet. Aku lupa dimana
naruhnya. Aku janji, aku kasih kamu uang, sabar yaa.” Cewek itu lagi-lagi
berkata sambil tersenyum manis menyuruh anak perempuan itu untuk bersabar.
Sebenarnya
senyum yang amat manis, tak sadar Rangga memujinya dalam hati. Dia salut juga
dengan gadis itu, yang bertekad sekali ingin memberi uang kepada bocah pengemis
itu. Kalau Rangga jadi cewek itu sih, ya tinggal menegakkan telapak tangan
seperti gerakan tangan pak polisi yang sedang menghentikan kendaraan, bilang
maaf lalu pengemis itu akan pergi dengan sendirinya.
Si bocah pengemis itu menggerak-gerakkan kakinya
dengan tak sabar, berkali-kali menghela nafas dan menatap si mbak dengan
bingung plus kesal.
“Aaah, ya ampyuunnnn…” jerit cewek itu tertahan, setelah
menarik tangannya keluar dari ransel dan menaruh sebuah kantung tarik berukuran
sedang yang menggembung di dekat pahanya—di samping buku—saking penuhnya barang
di pangkuannya. Sesuatu yang keras berwarna coklat seperti puzzle dari kayu
menyembul dari dalam kantung yang tidak diikat dengan kuat itu.
Cewek itu menunduk lagi, kali ini meraih ransel yang
satunya lagi. Membuka resleting utamanya dan dengan hati-hati memasukkan
tangannya, merogoh sampai ke dalam. Agak susah dia akhirnya menarik keluar
sebuah dompet panjang berwarna pink motif Teddybear.
“Ini ketemu dompetnya.” Cewek itu tersenyum lagi ke si bocah pengemis. Si bocah
pengemis mendesah lega, begitu juga Rangga—tanpa disadarinya.
Cewek itu membuka dompetnya dan mengeluarkan kertas
berwarna biru—selembar uang lima puluh ribu—dan menjejalkannya ke dalam gelas
plastik si bocah pengemis, menindih uang seribu-nya Rangga yang sebelumnya
sudah menghuni gelas plastik itu.
Anak kecil itu melongo parah, tak percaya dengan uang
bernominal sebesar itu di dalam gelas plastiknya.
“Oh iya, tunggu. Ini ada lagi.” Cewek itu tersenyum
lagi lalu menunduk ke ransel keduanya yang masih terbuka. Dia menarik keluar
sebuah kotak kardus dengan hati-hati dan memberikanya ke gadis kecil itu.
Dengan ragu-ragu, si bocah pengemis itu menerimanya.
Lalu membukanya. Rangga sampai menjulurkan lehernya secara diam-diam agar bisa
mengintip apa isi dari kotak itu. Ternyata sebuah rainboww cake berukuran sedang. Mata anak kecil itu berbinar
gembira.
“Makasih mbak.” katanya sambil mengempit gelas
plastiknya diketiak lalu mengambil tangan kanan cewek itu dan mencium punggung tangannya
lekat-lekat seperti mencium tangan ibunya sendiri.
“Iya, sama-sama.” ucap cewek itu tersenyum manis
sambil mengelus lembut kepala si bocah. Mata cewek itu bersinar sama lembutnya
dengan belaiannya.
“Makasih ya mbak.” Si bocah pengemis itu berkata
lagi, lalu berlari pergi sambil bersenandung riang. Langkah kakinya pun seperti
menari gembira.
Cewek itu terus menatap si anak kecil sampai hilang
di balik tembok. Lalu menunduk menatap barang-barang di pangkuannya yang
menumpuk setinggi gunung, dan menghela napas pasrah. Akhirnya dia memasukkan
kembali satu persatu barang-barangnya dengan merapikannya terlebih dahulu
seperti sedia kala sebelum dimasukkan.
Cewek itu akhirnya sadar sedang diperhatikan Rangga.
Cewek itu menoleh dan mata mereka bertemu. Mereka berdua langsung menunduk
berbarengan.
Rangga
berkata pelan, “Maaf… memandangimu seperti itu.”
Suaranya
terdengar serak dan agak sakit untuk bicara. Saking terpukaunya dia pada gadis
disebelahnya itu sampai membuatnya tidak sadar bahwa dia sudah memperhatikan
gadis itu cukup lama. Sangat tidak sopan.
Cewek
itu tersenyum kecil. “Ndak apa-apa.” Dia mengangkat kepala dan melirik laki-laki
di sebelahnya. Laki-laki itu memakai masker hijau muda seperti yang biasa
dipakai dirumah sakit dengan tali putih melingkari kedua telinganya, menutupi
hidung dan mulutnya hingga hanya terlihat mata dan keningnya saja. Rambut cowok
itu hitam jabrik. Gel rambut berkilat dari sela-sela rambutnya yang pasti tegak
kaku jika disentuh. Laki-laki itu memakai kaos putih dengan grafiti hitam entah
bertuliskan apa, celana kain warna krem dan sandal jepit model sport yang
pastinya berharga mahal. Mata cowok itu bening, dengan bola mata hitam.
“Mas
lagi sakit?” tanya cewek itu, memberanikan diri, sambil melanjutkan memasukkan
kembali barang-barangnya ke dalam ransel.
Rangga yang sedang menunduk, tidak menyangka akan
diajak ngobrol. Dia mengangguk pelan, lalu melirik kesebelah. Ternyata cewek
itu tidak sedang melihatnya, jadi cewek itu tidak tahu anggukan Rangga. Maka
Rangga berdeham, dan menjawab, “Iya, pilek dan batuk.”
“Oohh..” desah cewek itu. Tangannya terampil sekali
melipat baju. “Mas nunggu siapa?” tanyanya lagi.
Rangga menimbang-nimbang jawabannya. “Kakak.” jawabnya
kemudian. Dia pun mengungkapkan rasa penasaran yang sejak tadi dipendamnya.
“Kalau kamu? Nunggu kereta? Dari mana, eh, mau kemana?”
Cewek itu diam sejenak. “Mau pulang, mas. Aku nunggu
jemputan. Oh iya.. aku dari rumah kakek.” Jawaban cewek itu cukup mengagetkan
Rangga. Ternyata cewek itu tidak minggat seperti yang Rangga kira sebelumnya.
Tiba-tiba ponsel pink cewek itu berbunyi. Sambil mengepit ponsel di telinga dan
bahu, cewek itu bicara dengan terus memasukkan barang-barangnya. Kali ini
dengan gerakan sedikit dipercepat.
“Ayahku sudah di depan.” katanya sambil mematikan
ponsel lalu menjejalkannya ke dalam ransel. Cewek itu mengambil buku dan
kantong tariknya dengan tergesa-gesa, tanpa sadar sebuah puzzle kayu yang sudah
menyembul akhirnya melenting keluar dan jatuh ke bawah kursi putih yang
bercelah-celah itu. Cewek itu lalu memasukkan bungkusan hitam yang terakhir dan
menutup resleting ranselnya, juga resleting ransel kedua. Rangga tidak
menjawab, hanya terus memperhatikan cewek itu.
“Oh ya, nama mas siapa?” tanya cewek itu sebelum
bangkit. Dia menoleh, matanya bersinar menatap Rangga. “Aku Tiara.” lanjutnya. Tak
lupa senyuman manis bertengger di wajahnya.
“Mmmm..” Rangga menimbang-nimbang jawabannya. Cewek
ini adalah cewek asing, tidak mungkin dia begitu saja memberikan namanya.
“Adit.” ucapnya pelan. Meskipun mungkin cewek itu benar menyebutkan nama
aslinya Tiara, Rangga tidak akan melakukan hal yang sama, hal yang sebodoh itu.
“Ok, aku duluan ya mas Adit. Semoga cepat sembuh.”
Cewek
itu membungkuk untuk meraih pegangan ranselnya yang paling besar, memakainya di
punggung, lalu menjinjing ransel satunya dengan tangan kiri dan koper di tangan
kanan. Sepertinya berat, dan tas-tas itu tampak terlalu besar untuk cewek yang
ternyata berukuran cukup mungil itu. Cewek itu berdiri, tersenyum untuk
terakhir kalinya pada Rangga, lalu pergi.
“Tiara.” desis Rangga, senyum-senyum sendiri setelah
beberapa menit sejak kepergian cewek aneh itu.
Kebaikannya, tingkah lakunya yang unik, serba
pink, senyum manisnya. Rangga terus memikirkannya, memikirkan cewek itu, memikirkan
Tiara. Logika-logika dan teori-teori yang tadi dipaparkan Rangga tanpa ia
sadari telah terbantahkan oleh hatinya sendiri.
“Mas,
mas.”
Tiba-tiba
terdengar keramaian di dekatnya. Dan pikiran Rangga terhempas kembali ke bumi.
Dia menoleh dan mendapati si anak perempuan pengemis yang tadi sedang berdiri
di sebelah kirinya. Ditangannya masih ada gelas plastik dan kardus dari Tiara,
tapi di belakangnya bergerombol lima anak kecil yang saling kasak kusuk dengan
berisiknya. Tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Semuanya terlihat sama
menggenaskan seperti si bocah perempuan bergelas plastik itu. Sama-sama usang
dan kotor, berambut merah, berwajah gosong dan membawa gelas plastik. Anak-anak
pengemis lainnya. Teman-teman si gelas plastik.
“Mbak
yang disini kemana?” tanya si bocah perempuan bergelas plastik itu setelah
perhatian Rangga tercurah kepadanya. Jari telunjuk bocah itu terarah ke kursi
di ujung yang tadinya diduduki Tiara.
“Sudah
pergi.” jawab Rangga singkat. Dia memperhatikan teman-teman si gelas plastik
melenguh kecewa mendengar jawabannya.
“Tuh
kan, udah pergi.” celetuk si bocah gelas plastik, berdiri menghadap
teman-temannya. Lalu dengan sengaja memamerkan kuenya.
“Bagi
dong!” jerit salah satu teman ceweknya. Berusaha merebut kotak kardus ditangan
si gelas plastik.
“Eit,
eit!” Si gelas plastik dengan lincah menyelamatkan hartanya. “K-D-L-S!!”
katanya mengeja setiap huruf.
“Apaan
tuh???” tanya teman-temannya serempak, kebingungan. Rangga juga penasaran,
apaan tuh?
“KASIHAN
DEH LO SEMUAAA!!!” jerit si gelas plastik, lalu kabur tunggang langgang sambil
tertawa terbahak-bahak. Teman-temannya yang sukses dikerjai, mulai berlarian
mengerjarnya sambil berteriak-teriak kesal. Kontan suasana stasiun jadi semakin
ramai.
Rangga
cuma mesem melihat kejadian itu. Ah, dia jadi ingat Tiara lagi.
Sepotong puzzle kayu masih teronggok di bawah kursi,
sampai akhirnya sebuah tangan terjulur untuk mengambilnya.
Lalu
puzzle kayu itupun dimasukkan ke dalam saku celana satin berwarna krem. Dan si
empunya celana pun berjalan pergi.